Beberapa waktu lalu, Jokowi menyampaikan statement bahwa Presiden boleh berpolitik, boleh berkampanye, dan boleh memihak. Menurut Ketua KPU, statement Jokowi itu tidak ada masalah, karena dia hanya menyampaikan norma dalam UU Pemilu.
Masih menurutnya, bila Jokowi mau berkampanye, maka dia harus mengajukan izin cuti. Permohonan itu disampaikan kepada Presiden, yang adalah Jokowi sendiri. Jokowi mengajukan permohonan izin cuti kepada dirinya sendiri.
Sayangnya, Ketua KPU tidak menjelaskan secara rinci perihal muskilnya permohonan yang diajukan bagi dirinya sendiri. Dia hanya menyampaikan bahwa “Kalau Presiden mau berkampanye, juga harus mengajukan cuti ke Presiden, kan presidennya cuma satu”.
Inilah yang membuat publik menjadi bertanya-tanya. Mengajukan cuti pada dirinya sendiri dianggap lucu. Muncullah meme berupa dua foto Jokowi sambil bersalaman. Yang satu, Jokowi seolah sedang mengajukan cuti, sementara Jokowi satunya lagi mengabulkan izin.
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Anies Baswedan
|
Bila fenomena “jeruk makan jeruk” ini semakin liar, hal ini akibat dari jawaban Ketua KPU yang tidak utuh, yang cukup beralasan “kan presidennya cuma satu”. Andai dia menjelaskan secara rinci dengan pendekatan atau perspektif administrasi negara, perkara ini tidak makin riuh.
Seperti halnya seorang Menteri yang bermaksud akan ikut kampanye, maka dia harus menyampaikan permohonan cuti kepada Presiden. Kemudian Presiden membalasnya dengan surat izin cuti bagi yang bersangkutan, dengan tembusan disampaikan kepada KPU.
Bila Presiden akan mengikuti kampanye, karena dia adalah pejabat negara, maka berlaku klausul Pasal 299 UU Pemilu bahwa Presiden juga memiliki hak berkampanye. Inilah norma rujukan regulasi yang digunakan oleh Jokowi saat menyampaikan statement diatas.
Bila Presiden berkampanye, maka UU Pemilu Pasal 281 ayat (1) menyatakan, “saat berkampanye, Presiden dilarang menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara dan harus cuti di luar tanggungan negara”.
Simpulannya, pertama, Jokowi bisa dan boleh berkampanye. Kedua, bila Jokowi terlibat dalam kampanye, maka dia harus cuti diluar tanggungan negara dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Ketiga, surat izin cuti yang diajukan oleh Jokowi kepada Jokowi, secara hukum administrasi negara tidak ada masalah. Karena praktek yang sama sejatinya sudah kaprah diterapkan pada lembaga negara, seperti seorang Kepala Dinas membuat Surat Tugas bagi dirinya yang ditandatangani dirinya sendiri.
Tapi Penulis memiliki penerawangan bahwa Jokowi tidak akan ikut kampanye, tidak akan membuat surat izin cuti, dan tidak akan cuti. Dalam pengamatan Penulis, walaupun Jokowi sampai menyajikan kutipan isi UU Pemilu di Istana Negara sebagai justifikasi atas statement sebelumnya di Lanud Halim Perdanakusuma, itu hanyalah sebuah “gimmick”.
Gimmick untuk menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa pernyataan dia sebelumnya itu tidak salah. Tapi, alih-alih penegasan dengan menggunakan lembaran kertas itu semakin menguatkan argumentasinya, malah menjadi bumerang. Cara itu terasa seperti recehan ala istana di hadapan rakyat yang semakin cerdas.
Terlalu besar taruhannya bila seorang Presiden harus cuti hanya demi sebuah kampanye. Secara personal, itu akan mendegradasi dirinya sebagai seorang Presiden. Hal yang paling beresiko adalah ketika Presiden cuti, maka tampuk kekuasaan ada di tangan Wakil Presiden.
Adakah garansi atau jaminan bahwa di masa jeda manakala Presiden sedang cuti dalam situasi walaupun bukan “vacuum of power” itu, Wakil Presiden tidak melakukan regulasi krusial yang bisa saja drastis berkebalikan dengan kebijakan Presiden?
Bila pun ada “yurisprudensi” bahwa Barack Obama turun gunung ikut dalam kampanye mendukung calon Presiden Hillary Clinton dari partai yang sama yaitu Partai Demokrat, hal itu tidak selamanya bisa menjadi contoh yang baik bagi kita yang memiliki norma demokrasi yang berbeda dengan di Amerika Serikat.
Karenanya saya menyampaikan saran, sebaiknya Presiden tidak tergiur untuk terlibat dalam kampanye, tidak perlu cuti, karena baik secara personal maupun secara kelembagaan, sangat merugikan dan beresiko besar terhadap stabilitas negara.
Dengan tidak mesti turun gunung, maka akan menempatkan Presiden sebagai sosok negarawan, terlepas dari siapapun nanti yang terpilih sebagai Presiden yang menggantikan dirinya. Apakah rival politiknya, apalagi sekutu politiknya. Wallahualam.***
Artikel: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Serang, 27 Januari 2024
Penulis adalah alumni Prodi Aqfil IAIN SGD Bandung Angkatan 1992 yang kini menjadi Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)